MAKALAH LENGKAP "Prinsip-Prinsip Penggembalaan Ditinjau Dari Psikologi Penggembalaan""
Makalah Pastoral 1
“Prinsip-Prinsip
Penggembalaan Ditinjau Dari Psikologi Penggembalaan”
Disusun Oleh:
Nama : Medianto Tangkela’bi
NIRM : 2020164790
Kelas :
G Teologi
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri
(STAKN) Toraja
Tahun Ajaran 2019
Kata
Pengantar
Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah
yang Maha Kuasa oleh karena berkat dan penyertaan-Nya sehingga penulis bisa
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Prinsip-Prinsip Penggembalaan Ditinjau Dari
Psikologi Penggembalaan”. Di dalam makalah ini penulis memaparkan
tentang prinsip-prinsip yang digunakan dalam menggembalakan anggota jemaat
dengan mengenali psikologinya dengan tujuan agar ketika kita telah mengetahui
psikologi dari anggota jemaat itu kita bisa memberikan solusi dengan tepat. Di
dalam makalah ini juga penulis memaparkan tentang segi pelayanan seorang
gembala, peran seorang gembala, peran penggembalaan dan gembala sebagai
pemimpin yang membentuk kerohanian.
Di dalam penyusunan makalah ini penulis sangat
menyadari masih banyak kekurangan-kekurangan di dalamnya, baik dari segi
materi, dari segi penulisan atau tata
bahasa yang masih perlu untuk di perbaiki. Untuk itu penulis meminta saran dan
kritik yang membangun dari pembaca sekalian agar kedepannya makalah ini boleh
disusun dengan lebih baik lagi.
Mengkendek, 31 Oktober 2018
Medianto Tangkela’bi
Daftar
Isi
Kata Pengantar.......................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................... ii
BAB
1 PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.................................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah............................................................................................... 2
C.
Tujuan Penulisan................................................................................................. 2
BAB
2 ISI
A. Prinsip
penggembalaan ditinjau dari psikologi penggembalaan.......................... 3
B. Haruskah
seorang gembala menjadi ahli dalam bidang psikologi?................ .... 4
C. Segi
pelayanan dari seorang gembala................................................................. 5
D. Prinsip
sebagai seorang gembala......................................................................... 6
E. Peran
dari seorang gembala................................................................................ 7
F. Seorang
gembala sebagai pemimpin yang membentuk kerohanian.................... 9
G. Peran
dalam penggembalaan............................................................................... 10
BAB
3 PENUTUP
Kesimpulan................................................................................................................ 15
Daftar Pustaka........................................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Menurut
Thurneysen, penggembalaan adalah suatu pentrapan khusus Injil kepada anggota
jemaat secara pribadi, yaitu berita Injil yang dalam khotbah gereja disampaikan
kepada semua orang. Dr. H. Faber, penggembalaan adalah tiap-tiap pekerjaan yang
di dalamnya si pelayan sadar akan akibat yang ditimbulkan oleh percakapannya
atau khotbahnya atas kepribadian orang yang pada saat itu dihubunginya. Dr.
J.W. Herfst mengatakan bahwa tugas penggembalaan adalah menolong orang satu
persatu untuk menyadar hubungannya dengan Allah dan mengajar orang untuk
mengakui ketaatannya pada Allah dan sesamanya dalam situasinya sendiri. M. Bons
Strom, penggembalaan adalah mencari dan mengunjungi anggota jemaat
satu-persatu, mengabarkan Firman Allah kepada mereka dalam situasi hidup mereka
pribadi, melayani mereka sama seperti Yesus melayani mereka supaya mereka lebih
menyadari akan iman dan dapat mewujudkan iman itu dlam hidupnya sehari-hari.[1]
Tujuan dari penggemabalaan itu sendiri bukanlah supay gedung gereja menjadi
penuh, atau supaya gereja menjadi kudus tetapi tujuan dari penggembalaan adalah
supaya jemaat Kristus dibangun. Kalau dalam jemaat tiap-tiap anggota menjadi anggota yang hidup yang tahu nakan
panggilannya, maka jemaat itu akan menjadi suatu jemaat yang hidup, suatu
jemaat yang menarik, seperti suatu lampu di atas gunung.[2]
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
prinsip penggembalaan ditinjau dari psikologi penggembalaan?
2. Haruskah
seorang gembala menjadi ahli dalam bidang psikologi?
3. Bagaimana
segi pelayanan dari seorang gembala?
4. Apa
prinsip sebagai seorang gembala?
5. Bagaimana
peran dari seorang gembala?
6. Bagaimana
seorang gembala sebagai pemimpin yang membentuk kerohanian?
7. Apa
peran dalam penggembalaan?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui prinsip penggembalaan ditinjau dari psikologi penggembalaan
2. Untuk
mengetahui apakah seorang gembala harus menjadi ahli dalam bidang psikologi
untuk menggembalakan.
3. Untuk
mengetahui segi pelayanan dari seorang gembala
4. Untuk
mengetahui prinsip sebagai seorang gembala
5. Untuk
mengetahui peran dari seorang gembala
6. Untuk
mengetahui seorang gembala sebagai pemimpin yang membentuk kerohanian
7. Untuk
mengetahui peran dalam penggembalaan
BAB II
ISI
A.
Prinsip
penggembalaan Ditinjau dari Psikologi Penggembalaan
Berbicara
mengenai sumbangan psikologi dalam konseling pastoral sebenarnya berbicara
tentang sesuatu dengan kriteria dan batasan yang sulit untuk ditetapkan. Hal
ini terjadi bukan hanya karena psikologi itu begitu kompleks, tetapi juga
karena konseling pastoral merupakan pelayanan yang fleksibel dengan naturenya
yang selalu mencoba menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada.
Dengan berpijak pada kebenaran Firman Tuhan dan teologi yang sehat, konseling
pastoral menghadirkan dirinya dalam bentuk yang selalu up to date. Oleh karena
itu tidak heran kalau pemilihan dan pemakaian sumbangan psikologi sangat
fleksibel dan selalu berubah-ubah. Meskipun demikian di samping faktor
subjektivitas masing-masing konselor, menurut pengamatan penulis, tetap ada
prinsip-prinsip dasar pendektanan yang berlaku umum yang dipakai oleh hampir
semua konselor dalam sikap mereka terhadap sumbangan psikologi. Hamba-hamba
Tuhan bukan atau belum tentu seorang psikolog dan tidak harus menjadi psikolog
sebelum ia melakukan pelayanan konseling, tetapi pengetahuan dasar psikologi benar-benar
harus dilihat sebagai kebutuhan mutlak yang harus mereka miliki karena:
a. Pengetahuan
dasar psikologi memperlengkapi hamba-hamba Tuhan dalam mengenal diri sendiri
dan mengenal orang-orang yang mereka layani. Tanpa pengenalan ini, tidak
mungkin mereka dapat memberikan apa yang betul-betul dibutuhkan setiap individu
jemaatnya secara tepat dan pada saat yang tepat pula. Pengetahuan dasar
psikologi akan menolong hamba Tuhan memahami motivasi umum dibalik tingkah laku
manusia.
b. Pengetahun dasar psikologi memberikan
sumbangan pemikiran yang melengkapi disiplin teologi. Sebagai contoh kosep
teologi tentang dosa. Dengan sumbangan psikologi konselor semakin mengerti apa
yang Daud maksudkan pada saat ia berkata “Bebaskanlah
aku dari apa (dosa) yang tidak kusadari” (Mzm 19:13) dengan sumbangan
psikologi, konselor berani mengatakan bahwa tidak setiap perbuatan dosa adalah
ekspresi dari pemberontakan manusia terhadap Allah.
c. Pengetahuan
dasar psikologi akan menolong hamba Tuhan dalam pelayanan konseling mereka,
sehingga mereka tahu membedakan tingkah laku normal dari orang-orang yang
memang harus menjadi tanggung jawab mereka dan tingah laku abnormal dari
orang-orang yang seharusnya menjadi tanggung jawab para professional lain.
d. Pengetahuan
dasar psikologi memperlengkapi hamba Tuahan dalam setiap aspek pelayanan yang
lain. Psikologi yang dipelajari secara sehat dapat menolong hamba Tuhan
meningkatkan pelayanan mereka karena bebarapa alasan, yatitu: menolong mereka
lebih waspada dan menyadari aspek-aspek tersembunyi dibalik tingkah laku manusia; menolong mereka memanfaatkan
sumbangan ilmu psikologi secara sehat pula, karena psikologi adalah cabang ilmu
pengtahuan yang mempelajari tingkah laku manusia yang dapat diamati. Menolong
mereka tahu memakai sumbangan psikologi sebagai alat pemberitaan Injil dan
pembimbingan pertumbuhan rohani orang-orang percaya.[3]
Agar
seorang gembala dapat melakukan konseling dengan efektif, seorang gembala harus
menjadi pendengar yang baik. Biarkan konseli berbicara dengan leluasa/bebas; tunjukkan
kepada konseli bahwa anda ingin mendengarkan untuk mengerti dia, bukan
mendengarkan untuk menentang; singkirkan hal-hal yang bisa mengganggu misalnya,
catatan yang berantakan, kertas-kertas dan buku-buku yang tidak perlu,
melakukan empati dengan konseli; bersabar, jangan memotong pembicaraan; kuasai
emosi; tenang dalam berargumentasi dan menerima kritik dan ajukan pertanyaan
untuk menunjukkan bahwa anda mengikuti dan mendengarkan.[4]
B.
Haruskah
seorang gembala menjadi ahli dalam bidang psikologi?
Apakah
seorang pendeta tanpa pelatihan psikologi memenuhi syarat untuk mengkonseling
jemaatnya, atau haruskah ia membatasi dirinya pada konseling rohani dan
menyerahkan kasus-kasus yang lebih sukar kepada yang porofesional? Akar
persoalan psikologi manusia kecuali karena sebenarnya merupakan masalah rohani
hal mana merupakan kebutuahan manusia bersama dengan penyembuhannya secara
supranatural yang hanya bisa dijawab oleh Alkitab. Larry Crabb, dalam bukunya Effective Biblical Counseling,
menasihatkan bahwa kita sebaiknya menggunakan wawasan, prinsip-prinsip dan
cara-cara dari psikologi yang sesuai dengan Alkitab untuk membantu kita menjadi
lebih berhasil. Lutzer telah belajar beberapa hal penting dalam memberi
konseling. Pertama, kita tidak perlu memakai pendekatan yang sama terhadap
setiap persoalan. Setiap pribadi berbeda dan masing-masing memerlukan
pendekatan secara pribadi. Kedua, Lutzer juga melihat
hasil-hasil terbaik melalui kegigihan dalam doa yang disertai iman. Saya telah
menggunakan banyak waktu dengan baik untuk berdoa bagi konseli saya dan meminta
berdoa sesuai dengan petunjuk yang saya berkan. Saya menguatkan orang percaya
bahwa Allah tidak hanya memberikan kita hikmat tetapi mencurahkan kesembuhan di
dalam hidup semua orang yang sungguh-sungguh mmencari Dia (Mazmur 147:3). Kita
tidak perlu menjadi ahli dalam psikologi hanya untuk menjadi konselor berhasil.
Kita hanya perlu untuk berbicara secara alkitabiah dan peka secara emosional
untuk masuk ke dalam kebutuhan-kebutuhan jemaat kita.[5]
Kita semua tahu apa yang terjadi ketika suatu insiden kecil membangkitkan
memori yang sangat menyakitkan: Kita bisa bereaksi secara berlebihan dan
melampiaskan kemarahan atau ketakutan dari waktu-waktu lampau pada orang-orang
disekitar kita yang tak bersalah. Luka-luka lama sunguh-sungguh membuat kita
terperangkap pada satu titik waktu, perubahan-perubahan psikologis aktual
terjadi di dalam otak. Kita dapat melepaskan diri dari dampak negatif luka-luka
masa lampau dan mengubah luka itu menjadi sebuah pemberian yang menyenangkan,
yakni dengan membawa kasih Yesus ke dalam memori-memori yang menyakitkan. Kita
tidak meminta Yesus menghapusnya atau membantu kita melupakan masa lalu,
sebaliknya kita meminta Yesus untuk menyembuhkan memori-memori kita itu. Disinilah
peran seorang gembala bagaimana dia bisa untuk membimbing/mengarahkan orang
yang terluka itu agar bisa merasakan kehadiran Yesus dalam memorinya.[6]
C.
Segi
Pelayanan Seorang Gembala
Dalam pekerjaan
seorang gembala sidang sukarlah untuk mengatakan segi pelayanan mana yang
paling penting. Tentu saja pelayanan dari mimbar merupakan hal pengting.
Saudara sudah diperintahkan untuk memberitakan Firman itu. Menyampaikan
kebenaran ilahi dengan jalan mengucapkannya dan dengan tujuan untuk mengajak
orang lai, harus selalu merupakan hal yang paling penting. Ada juga segi-segi pelayanan lain yang sangat
penting. Tetapi diuraikan dengan cara apapun pekerjaan gembala sidang itu,
kunjungan kerumah-rumah orang merupakan hal yang sangat penting, karena
beberapa alasan berikut:
1. Dengan
berkunjung ke rumah, kita bisa melihat anggota-anggota jemaat dalam kadaan yang
sebenarnya.
2. Hubungan
yang intim dengan anggota-anggota jemaat dan para simpatisan akan memelihara
agar kita tetap mendapat keterangan mengenai apa yang sedang terjadi di dalam
jemaat kita. Keterangn ini penting yaitu untuk memberikan khotbah-khotbah yang
dapat diterapkan secara praktis.
3. Kunjungan
ke rumah menyatakan kepada orang-orang bahwa kita mengasihi mereka. kebanyakan
orang akan memberikan sambutan yang baik apabila mereka percaya bahwa orang
sungguh-sungguh memperhatikan mereka.
4. Kunjungan
ke kerumah juga memungkinkan adanya waktu yang ideal untuk membimbing
anggota-anggota keluarga itu secara pribadi. Mungkin terdapat persoalan yang
terlalu berat atau dalam untuk mendapatkan pemecahan mlalui khotbah-khotbah. Di
rumah secara tersendiri hal-hal seperti ini dapat diselesaikan dan dapat
dibawakan dalam doa.
5. Kunjungan
ke rumah banyak memberi semangat agar orang hadir dalam kebaktian gereja.
Hal yang utama yang
paling penting adalah harus senantiasa menyadari bahwa kunjungan ke rumah itu
sebagai suatu pelayanan rohani. Berusaha mengalihkan percakapan kepada hal-hal
rohani: pembacaan Alkitab dan doa bersama dalam keluarga, kasih satu kepada
yang lain dan ketaatan anak pada orang
tua. Lanjutkan dengan mendoakan tiap-tiap anggota keluarga, mintalah diri,
dengan demikian kita dapat mennggalkan kesan bahwa ini benar-benar merupakan
kunjungan seorang hamba Allah.[7]
Gembala sidang harus mendisiplinkan domba-dombanya, sedangkan gembala sidang
itu sendiri disiplinkan oleh Gembala Agung yaitu Yesus Kristus. Salah satu
tanggung jawab gembala sidang adalah menanamkan rasa taat di dalam hati
domba-dombanya. Tugas sebagai seorang pendeta atau gembala sidang ialah untuk
mengawasi dan memelihara kawanan domba dan memimpin mereka agar taat kepada
Kristus. Dapat disimpulkan, yaitu: Pertama, sebagai gembala sidang
harus bertanggung jawab untuk mengawasi keadaan jiwa tiap-tiap anggota jemaat
(Ibrani 13:17). Kedua, anggota jemaat harus mengakui kedudukan pendeta yamg
khas sebagai seorang gembala sidang dan mereka harus mengakui kekuasaannya dn
mentaati perintah-perintahnya serta mengindahkan nasihat-nasihat yang dengan
sabar genbala sidang sampaikan. Ketiga, apabila ada anggota jemaat
yang tidak taat pada Kristus, maka pendeta bertugas mendekatinya serta berusaha
membawanya kembali ke dalam persekutuan dan menolong dia agar mendapat
kemenangan Rohani di dalam hidupnya. Keempat, jika dia tidak menghiraukan
saudara sebagai seorang pendeta, atau dengan dua atau tiga orang saksi atau
kemudian dengan gembala sidang jemat, maka kita harus mengucilkan dia (Matius
18:15-17).[8]
D.
Prinsip
Seorang Gembala
1. Sudah
jelas para pendeta harus mempunyai karakter dan kelakuan yang tidak dapat
dicela. Mereka harus sungguh-sungguh rindu melayani Kristus dan mencintai
Firman Allah serta kemauan untuk mempelajarinya dan saling belajar mengajar
dengan yang lain.
2. Jangan
terjun dalam pelayanan karena anda telah gagal dalam selusin pekerjaan lainnya
atau karena tidak ada pekerjaan lain yang akan dikerjakan. Orang-orang yang
dipanggil Allah akan mengetahuinya, jika mereka sungguh-sungguh berserah kepada
kehendak Allah: tidak ada apapun yang akan dapat memuaskan mereka, kecuali
melakukan kehendak Allah.
3. Jika
anda ternyata mempunyai karunia pastoral tetapi meras tidak terpanggil ke dalam
pelayanan yang penuh waktu/fulltime, maka bergiatlah dalam gereja setempat dan
pakailah karunia-karunia anda untuk memuliakan Allah.
4. Sediakan
waktu untuk dapat mengetahui kehendak Allah. Ambillah waktu khusus untuk berdoa
dan membaca Firman Allah.
5. Seorang
pendeta “janganlah seorang yang baru bertobat” (1 Tim 3:6). Diaken-diaken harus
diuji lebih dahulu (1 Tim 3:10) dan cara ini juga baik untuk para calon
pelayan.
6. Rencana
Allah yang lazim membiarkan hamba-hamba-Nya membuktikan dirinya sendiri setia
dalam perkara kecil, sebelum dia memberinya tanggung jawab dalam perkara yang
lebih besar (Mat 25:21). Sebelum gereja
menumpakan tangan atas anda untuk
penahbisan, hendaknya anda yakin bahwa Allah telah menumpangkan tangan-Nya atas
anda untuk pelayanan seumur hidup (Flp 3:12-14).[9]
E.
Peran
seorang Gembala
Para konselor
Kristen harus peka terhadap dalamnya keakuan di dalam tabiat manusia. Adalah
tanggung jawab kita sesama anggota tubuh untuk terus menerus saling
mengingatkan dan saling memperhatikan, menasihati (menggembalakan) untuk
mempertahankan sasaran dari konseling yang benar, yaitu untuk memerdekakan
orang-orang sehingga dapat menyembah dan melayani Allah dengan lebih baik,
untuk menuju kepada kedewasaan.[10] Sasaran dari konseling alkitabiah adalah untuk
memperkenalkan kedewasaan Kristen, untuk menolong orang-orang memasuki suatu
pengalaman yang lebih dalam tentang penyembahan dan suatu kehidupan pelayanan
yang lebih efektif. Dalam jangkauan yang luas, kedewasaan Kristen dikembangkan
dengan menangani masalah yang timbul secara secara langsung dengan sikap yang
konsisten dengan ajaran Alkitab dan mengembangkan karakter ke dalam yang
membentuk karakter (sikap, keyakinan, tujuan) Kristus.[11]
Dalam penggembalaan, konselor juga harus punya rasa empati terhadap konseli
(orang yang digembalakan) agar bisa menggembalakan dengan benar dan tepat. Di
sisi lain empati memungkinkan orang bukan hanya dapat mengenal, memahami, dan
merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain terkait masalahnya, tetapi juga
benar-benar menjadi orang lain dan seperasaan dengan mereka. Gerard dalam
bukunya yang berjudul The Skilled Helpers
membedakan empati pada dua tingkatan, yaitu:
1. Empati
dasar, yaitu menempatkan perasaan empati secara positif dalam proses konseling,
berarti seorang konselor dapat mempunyai perasaan yang hangat dan ramah secara
pribadi. Dengan perasaan itu, konselor sanggup meyakinkan konsilinya bahwa ia
tertarik kepadanya secara kongkrit dan dapat memusatkan perhatiannya terhadap
persoalan konseli yang dilayaninya. Menurut Gerard perpendapat bahwa seseorang
benar-benar menggunakan empatinya jika ia sanggup melakukan dua tahap, yaitu Pertama Discriminate atau menagkap:
konselor dapat mengadakan kontak atau memasuki ke dalam dunia pribadi konseli,
melihat dunia melalui persepsi konseli dan menagkap perasaan-perasaan yang ada
dalam dunia konseli. Kedua
Communicate atau merespons: konselor berkomunikasi dengan konseli mengenai
pengertian menagkap berita dalam upaya konselor untuk memahami perasaan dan
tingkah laku serta pengalaman konseli.
2. Empati
lanjutan, yaitu konselor memeriksa lebih dalam lagi, mengkomunikasikan
perasaan-perasaan yang telah dimengerti, pengalaman-pengalaman, dan
motivasi-motivasi yang diekspresikan konseli. Dalam empati lanjutan ini,
konselor tidak hanya mengerti dunia konseli, tetapi juga melihat implikasi dari
apa yang dia mengerti dan mengkomunikasikan pengertian yang lebih dalam kepada
konselinya. Untuk mencapai hal tersebut, penyingkapan diri, konfrontasi atau
perdebatan sangatdiperlukan konselor untuk menolong kobnseli mencapai
pengertian yang objektif tentang dirinya, permasalahannya, dan dunia yang akan
membimbingnya pada tindakan yang efektif.[12]
Pelayanan
pastoral konseling mempunyai skop yang jauh lebih luas jika dibandingkan dengan
skop pelayanan konseling dari konselor-konselor yang lainnya, bukan karena
availabilitas dan keunikan posisi hamba Tuhan di tengah jemaatnya saja tetapi
juga disebabkan karena natur dari pelayanan pastoral konseling yang menempatkan
dimensi spiritual sebagai inti dasar pendekatan setiap masalah hidup manusia
dimensi spirituallah yang memungkinkan pastoral konselor menyentuh bukan hanya
inti persoalan manusia, tetapi juga inti kebutuhan hidup manusia yang terdalam.
Tidak pernah ada kasih, sukacita, damai, pengharapan dan sebagainya yang
terjadi di luar konteks dimensi spiritual manusia. Hanya dengan menghargai
kelebihan yang Allah berikan dalam pelayanan pastoral konseling ini, hamba
Tuhan dapat menentukan sikapnya yang jelas dalam integrasi antara Psikologi dan
Teologi sebagai dasar pendekatan konselingnya. Dengan modal inilah pastoral
konseling menjadi pelayanan dengan skop yang unik yang siap menjangkau setiap
masalah kehidupan manusia yang normal seperti halnya dengan permasalahan,
kemarahan, cemburu; iri hati, kecemasan, rendah diri, kesepian, rasa bersalah
dan dukacita.[13]
F.
Gembala
Sebagai Pemimpin Yang Membentuk Kerohanian
Semua
kepeminpinan rohani adalah karunia Roh Kudus. Berasal dari Allah dan
mencerminkan hadirat Allah yang tiada henti dalam kehidupan kita setiap saat.
Menurut Canada, kepemimpinan rohani dalam gereja kecil biasanya diawali dari
kehidupan ibadah pribadi pendetanya.
Kepekaan ilahi ini adalah anugerah yang menolong kita untuk mulai
mengenal Allah. Berdasarkan gambaran perumpamaan tentang Penabur, kita
memusatkan perhatian kepada cara untuk menjadi tanah yang baik, sehinggah
firman Allah dapat tumbuh dan berbuah di sana. Allah sudah menyiapkan roh kita
untuk mengalami hadirat ilahi. Saat kita menabur benih dalam kehidupan
komunitas dan gereja kita, Allah sesunggunya juga sedang menabur benih dalam
kehidupan kita.[14]
David Canada berasal dari sebuah pedesaan dari gereja yang hanya memiliki 20
anggota aktif semasa dia bertumbuh di sana. Selulusnya dari seminari dia
meminta diutus ke gereja asalnya. Salah satu hal yang memotivasinya untuk
pulang adalah keinginan untuk belajar memberkati wilayah itu beserta semua orang
yang menempatinya. Kepemimpinan rohani membawa kita melewati beberapa tahap,
dan melalui anugerah Roh kudus maka disiplin rohani pribadi membentuk kita.[15]
G.
Peran
penggembalaan
Pentingnya
pelayanan penggembalaan dalam gereja tidak boleh ditekankan secara berlebihan.
Penggembalaan tidak selalu berupa konseling pastoral. Konseling adalah salah
satu aspek dari penggembalaan, di mana gembala bertindak sebagai konselor atau
terapis bagi anggota gereja secara pribadi maupun kelompok. Penggembalaan dapat
diartikan sebagai seni menerapkan kasih Allah kepada anggota jemaat, komunitas,
dan dunia. Penggrmbalaan adalah bagian dari setiap pelayanan gereja. fokusnya
adalah mendewasakan jiwa. Jika konflik, menandakan jiwa yang tidak sehat. Maka
penggembalaan adalah salah satu sarana terbaik yang dimiliki oleh pendeta dan
gereja dalam memberikan pemulihan, mengatasi konflik dan mengatasi rintangan
yang ada. Menurut David Canada, sebagian besar dari 20% pelayanannya yang
berhasil adalah mengasihi orang lain. Jika dia hadir, mengasihi, dan
mempedulikan orang lain yang ada bersama dia, maka Allah akan mengerjakan
bagian selanjutnya. Penting untuk digaris bawahi bahwa mengasihi orang tidak
sama dengan menyukai atau menyenangi mereka. kasih lebih merupakan sikap atau
cara berelasi ketimbang perasaan. Setiap gereja penuh dengan contoh
penggembalaan yang dilakukan oleh anggota jemaat kepada sesame. Jika pendeta
menunjukkan kasih dan penerimaan terhadap anggota jemaat, maka mereka pun
menjadi lebih leluasa dalam menunjukkan kasih dan penerimaan kepada satu sama
lain.[16] Untuk dapat menggembalakan seseorang atau
sekelompok orang seorang gemabala harus mempunyai gaya hidup merangkul. Gereja
mula-mula dapat segera memahami bahwa tujuan perjalanan menuju kedewasaan
rohani adalah merangkul orang lain. Sebagai contoh kisah Filipus dalam Kisah
Para Rasul 8, Filipus mendatangi sida-sida dari Etiopia dan memberitakan Injil
padanya. Ini adalah contoh tidak membedakan setiap indivudu, tidak
mempermasalahkan asal usul dn suku dari orang itu, tetapi dia merangkul orang lain untuk memberitakan Injil
padanya.[17] Dalam proses konseling percakapan
konstruktif/membangun diawali oleh situasi yang penuh dengan kepercayaan.
Artinya dalam proses konseling harus ada percakapan yang membangun khususnya
konselor terhadap seorang konseli. Dan konselor harus bisa dipercaya dalam
segala situasi ketika konseli menbceritakan setiap persoalan hidupnya. Konselor
tidak boleh mengumbar apa yang tidak baik yang di ungkapkan oleh konseli
kepadanya, sehingga terjadi hubungan yang saling membangun dan penuh dengan
rasa kepercayaan antara konseli terhadap konselor. Interpretasi (pendapat) yang
tepat dan intervensi yang pas selalu didasarkan pada pengetahuan yang benar dan
pemahaman simpatik terhadap seseorang. Artinya dalam konseling kita harus
memberikan tanggapan/pendapat yang tepat sesuai dengan yang dibutuhkan oleh
anggota jemaat/konseli, jangan sampai konseli mengajukan permasalahan lain,
konselor memberikan jawaban/tanggapan yang tidak pas atau meleset dan itu tidak
akan membuat konseli merasa puas dan kemungkinan malah akan menambah
masalahnya. Konselor juga harus bisa memberikan pengertian atau simpati kepada
konseli agar konseli merasa diperhatikan dan dengan begitu dia akan
mengungkapkan segala pergumulannya, dia akan terus terang dan jujur di hadapan
konselor.[18]
Untuk dapat menggembalakan kaum muda, sebagai seorang gembala harus mengetahui
psikologi dari kaum muda. Untuk itu ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Pahami
dunia kaum muda
Kaum muda merupakan kelompok usia
yang sedang mencari-cari jati dirinya. Namun, upaa mencari jati dirinya itu
kerap kali membuat mereka berperilaku sebagai manusia-manusia yang anaeh.
Pencarian identitas itu membuat kaum muda bergerak kemana mereka hendak pergi dan bertindak sesuai dengan
pikiran mereka sendiri tanpa mempertimbangkannya secara matang dan bijak. Kaum
muda memiliki perkembangan kejiwaan yang
turut memengaruhi totalitas kehidupannya, baik dalam berfikir maupun dalam
bertindak.[19]
2. Singkirkan
mitos-mitos
Seringkali pera pejabat pemerintah
mengatakan bahwa “Pemudah adalah harapan bangsa”. Ada juga ungkapan yang
mengatakan bahwa “Pemuda adalah masa depan gereja”. Ironisnya slogan tersebut
hanya sebatas ucapan di bibir karena pada kenyataannya dalam banyak hal kaum
muda kurang diperhatikan baik dalam kehidupan bernegara maupun kehidupan
bergereja.[20]
3. Ungkapkan
Kendala-Kendala Dalam Pelayanan Kaum Muda
Ada beberapa kendala penyebab
ketidakmajuan dalam pelayanan kaum muda, yaitu:
a. Gembala
gereja tidak menjelaskan visi atau tujuan pelayanan gereja. Visi pelayanan yang
jelas ibarat lokomotif kereta api yang menarik gerbong-gerbong di atas rel
menuju tempat tujuannya. Itulah sebabnya, pemimpin/gembala kaum muda harus
dapat menagkap visinpelayanan yang dijelaskan oleh gembala sehingga ia dapat menterjemahkan visi pelayanan
tersebut kedalam kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan.
b. Gereja
menerapkan model pelayanan yang tidak sesuai dengan konteks kaum muda.
c. Gereja
tidak punya asisten /gembala kaum muda yang secara khusus diangkat untuk
menangani kaum muda.
d. Hubungan
antara gembala gereja dan pemimpin kaum muda kurang harmonis.
e. Pemimpin
kaum muda memiliki karakter yang tidak dapat diteladani.[21]
Gembala
harus mampu untuk menyatakan/mengungkapkan kendala-kendala itu agar di pahami
oleh aum muda dan dengan begitu kaum muda akan mudah untuk di gembalakan.
4. Bangun
Paradigma Pelayanan Kaum Muda Secara Utuh.
Seorang gembala harus mampu untuk
membangun cara pandang dari kaum muda agar dapat digembalakan, misanya kita
harus dapat meyakinkan kaum muda dengan landasan yang teologis seperti, kaum
muda itu berharga di mata Tuhan (Mazmur 8:5-7a), manusia (kaum muda) diciptakan
menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26), kaum muda harus menjaga dirinya
(tubuhnya) karena itu adalah bait Allah
dan Roh Allah diam didalamnya (1 Korintus 3:16), dll . Landasan ini akan
membuat kaum muda akan semakin manghargai dan memaknai kehidupannya sendiri.[22]
Itulah beberapa poin
penting yang harusnya diperhatikan oleh seorang pendeta/gembala untuk dapat
menggembalakan kaum muda dengan baik dan juga dengan tepat sasaran. Seorang
gembala juga harus bisa peka terhadap kebutuhan warga jemaat yang sedang
bergumul karena banyaknya masalah,
khususnya bagi watita hal yang paling dibutuhkan oleh para wanita yang
sedang terluka adalah perhatian dan pendampingan. Seorang gembala/pendeta harus
peka terhadap situasi seperti ini jika dialami oleh anggota jemaatnya. Misalnya
ketika seseorang ditinggaalkan oleh orang yang ia kasihi, maka pendeta/gembala
harus dapat menguatkan orang tersebut. Seorang wanita dari Lousiana mnulis:
ketika dia suaminya yang telah mendampinginya selama 25 tahun meninggalkan dia
begitu saja, pendeta mengajak istrinya datang dirumahnya dan sering berdoa
bersama, agar dia dapat melihat tangan Allah yang dapat menopangnya ditengah
pergumulannya yang ditinggalkan oleh suaminya. Kisah ini menunjukkan bahwa
dengan kehadiran pendeta dan istrinya itu untuk berdoa, ia merasa lega karena
dia diperhatikan oleh pendetanya. Inilah yang dapat dilakukan oleh seorang
gembala dalam jemaat. Tetapi meskipun demikian ada juga kelemahan yang terdapat
di dalam melakukan konseling ini, yaitu pertama, waktu yang terbatas: Orang sering berpendapat bahwa konseling oleh
pendeta dapat menjadi sesuatu yang jika tidak dikendalikan dengan hati-hati
maka dapat menyita waktu mereka. Jadi waktu pendeta untuk mengkonseling mereka
terbatas. Kedua, pengertian yang terbatas: Para pendeta tidak dapat
menjadi ahli dalam semua bidang kehidupan seorang pendeta konselor mungkin
memiliki pemahaman yang terbatas mengenai suatu masalah tertentu dalam
kehidupan seseorang wanita dan tidak sungguh-sungguh tahu cara terbaik untuk
menolongnya. Ketiga, penolakan anggota gereja terhadap pelayanan konseling
oleh pendeta: Sebagai wanita tidak mau pendeta mereka mengetahui masalah yang
mereka rahasiakan. Wanita lainnya takut akan merasakan godaan secara seksual
ketika bertemu berduaan saja dengan pendeta saat konseling. Untuk menghindari
masalah itu mayoritas kaum wanita meminta konselor wanita, agar mereka dapat
berkomunikasi secara baik. Karena kebanyakan wanita akan malu mengungkapkan
pergumulannya jika berhadapan denga konselor pria, apalagi jika menyangkut
masalah yang hanya berkaitan dengan kaum wanita. Wanita memahami wanita karena
mereka mengalami tahap-tahap kehidupan yang sama dan menghadapi kepedihan yang
sama juga memakai bahasa yang sama. Tidak mungkin seorang pendeta pria dapat
sepenuhnya mengerti suasana hati perempuan, atau sakit bulanan karena
menstruasi atau serangan rasa panas karena menopause, atau sakit hati karena
ketidaksuburan, perceraian, keguguran atau depresi pasca melahirkan. Tetapi
dengan sesama perempuan maka dia dapat mengerti semua itu.[23]
Menurut saya disinilah peran psikologi dalam menggembalakan kaum wanita, yaitu
mampu melihat kebutuhan wanita agar penggembalaan berjalan dengan efektif dan
tepat sasaran. Neil T. Anderson dan kawan-kawannya menguraikan pendekatan-pendekatan
klinis untuk konseling Kristen, yaitu Pertama Model Everett Worthington:
Mengacu pada kerangka kerja professor psikologi
Everett Washington, mereka mengidentifikasi pendirian para terapis yang
merawa pasien yang taat beragama: Para terapis yang secara pribadi tidak
menghargai komitmen religius dan mengabaikannya atau melihatnya semata-mata
sebagai halnya berbahaya bagi pasien mereka; para terapis secara terapis tidak
taat beragama; para terapis secara pribadi memegang nilai-nilai religius tetapi
mengabaikan atau menghindar untuk berhadapan dengan komitmen religius dan
nilai-nilai dalam terapi. Keduan, Model Larry Crabb: Strategi pendekatan
konseling yang alkitabiah. Jika seseorang menderita pneumonia, bawa dia ke
dokter bukan ke pendeta, jika ia memiliki masalah psikologis atau jika ia sakit
mental, bawalah dia kepada konselor professional. Dalam pandangan Dr. Crabb,
pandangan seperti ini gagal dalam mengenal kemampuan Alkitab untuk menghadapi
masalah-masalah psikologis seperti depresi, kecemasan, kecanduan,
ketidaksetiaan, kemarahan dan konflik-koflik keluarga. Di dalam Alkitab
tercantum segalanya untuk mengatasi maslah-masalah seperti ini.[24]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Saya
menyimpulkan makalah ini bahwa, di dalam penggembalaan berarti kita memberitakan
firman Allah kepada orang yang kita gembalakan dengan harapan supaya melalui
firman Allah itu mereka dapat dikuatkan dalam menghadapi pergumulan hidup dan
ketika kita menggembalakan seseorang yang menyimpang dari ajaran Kristus,
melalui firman Allah yang kita beritakan mereka dapat berubah dari pola hidup
yang salah kepada pola hidup yang berkenaan dengan kehendak Allah. Selain itu
penggembalaan berarti kita mencari; mengunjungi anggota jemaat satu-persatu,
melayani mereka sama seperti Yesus melayani mereka supaya mereka lebih
menyadari akan iman dan dapat mewujudkan iman itu dlam hidupnya sehari-hari.
Saya juga menyimpulkan bahwa, untuk dapat
menggembalakan seseorang setidaknya kita mengetahui sedikit tentang ilmu
psikologi, artinya kita harus bisa melihat psikologi dari klien atau konseli
kita dan yang terpenting adalah siapa yang sedang kita gembalakan, apakah orang
tua, lansia, anak-anak, kaum muda atau siapapun itu. Agar kita bisa memberikian
solusi yang tepat sesui dengan kebutuhan mereka. Karena setiap orang tentunya
mempunyai permasalahn atau pergumulan yang berbeda-beda. Masalah orang tua
pastinya berbeda dengan kaum muda atau anak-anak, karena itu dibutuhkan
kepekaan seorang gembala dalam menggembalakan seseorang.
Daftar Pustaka
Strom, M. Bons. 1991. Apakah Penggembalaan Itu?, Jakarta:
Gunung Mulia.
Susabda, Yakub B. 2014. Konseling Pastoral: Pendekatan Konseling Pastoral Berdasarkan Integrasi
Teologi dan Psikologi, Jakarta: Gunung Mulia.
Cowles, Robert. 2000. Gembala Sidang, Bandung: Yayasan Kalam Hidup.
Gunarsa, Singgih D. 2011. Konseling dan Psikoterapi, Jakarta: Gunung Mulia
Lutzer,
Erwin. 2010. Pastor to Pastor, Memecakan
Masalah-Masalah Dalam Pelayanan, Malang: Gandum Mas.
Sugden,
Howard F. dan Warren W. Wiersbe. 2009. Jawaban
atas Masalah Penggembalaan, Malang: Gandum Mas.
Crabb, Larry. 1995. Konseling yang Efektif & Alkitabiah, Bandung: Yayasan Kalam
Hidup.
Engel,
J.D. 2016. Pastoral dan Kebutuhan Dasar
Konseling, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Susabda,
Yakub B. 2008. Pastoral Konseling: jilid
2, Malang: Gandum Mas.
Wuellner, Flora Slosson. 2010. Gembalakanlah Gembala-gembala-Ku, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Canada,
David 2015. Spiritual Leadership, Seri:
Pelayanan di Gereja Kecil (perintisan) dan
Kelompok Sel,
Malang: Gandum Mas
Johnson,
Eric L. 2012. Psychology &
Christianity: Five Views, Malang: Literatur SAAT.
Tacoy,
Selvester M. 2009. 6 Kunci Melayani Kaum
Muda, Bandung: Yayasan Kalam Hidup.
George,
Denise. 2015. Gembala Ideal Bagi Jemaat:
Apa yang jemaat ingin anda ketahui, Malang: Gandum Mas.
Anderson,
Neil T. dkk. 2014. Christ Centered
Therapy: integrasi Praktis Teologi dan Psikologi, Malang: Gandum Mas.
[1] M. Bons Strom, Apakah
Penggembalaan Itu?, Jakarta: Gunung Mulia 1991, hlm. 19-23
[2] Ibid,
hlm. 26
[3]
Yakub B. Susabda Konseling Pastoral:
Pendekatan Konseling Pastoral Berdasarkan Integrasi Teologi dan Psikologi,
Jakarta: Gunung Mulia 2014, hal 115-121
[4] Singgih D. Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi, Jakarta: Gunung Mulia 2011, hlm. 41-42
[5]
Erwin Lutzer, Pastor to Pastor, Memecakan
Masalah-Masalah Dalam Pelayanan, Malang:
Gandum Mas 2010, hlm. 115-125
[6] Flora Slosson Wuellner, Gembalakanlah
Gembala-gembala-Ku, Jakarta: BPK Gunung Mulia
2010, hlm. 110
[7]
Robert Cowles, Gembala Sidang,
Bandung: Yayasan Kalam Hidup 2000, hal. 28-30
[8]
Ibid, hlm. 86-91
[9]
Howard F. Sugden dan Warren W. Wiersbe, Jawaban
atas Masalah Penggembalaan, Malang: Gandum Mas 2009, hlm. 9-12
[10] Larry Crabb, Konseling
yang Efektif & Alkitabiah, Bandung: Yayasan Kalam Hidup 1995, hlm. 17
[11] Ibid,
hlm. 27
[12]
J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar
Konseling, Jakarta: BPK Gunung Mulia 2016, hal.49-60
[13]
Yakub B. Susabda, Pastoral Konseling:
jilid 2, Malang: Gandum Mas 2008, hlm. 9-10
[14]
David Canada, Spiritual Leadership, Seri:
Pelayanan di Gereja Kecil (perintisan) dan Kelompok Sel, Malang: Gandum Mas 2015, hlm. 27-32
[16]
Ibid, hlm. 75-78
[18]
Eric L. Johnson, Psychology &
Christianity: Five Views, Malang: Literatur SAAT 2012, hlm. 367
[19]
Selvester M. Tacoy, 6 Kunci Melayani Kaum
Muda, Bandung: Yayasan Kalam Hidup 2009, hlm. 11-17
[20]
Ibid, hlm. 25-28
[21]
Ibid, hlm. 33-39
[22]
Ibid, hlm. 53-57
[23]
Denise George, Gembala Ideal Bagi Jemaat:
Apa yang jemaat ingin anda ketahui, Malang:
Gandum Mas 2015, hlm. 51-54
[24]
Neil T. Anderson, dkk, Christ Centered
Therapy: integrasi Praktis Teologi dan Psikologi
Malang:
Gandum Mas 2014, hlm. 74-75
Komentar
Posting Komentar