MAKALAH SOSIOLOGI AGAMA MEMBAHAS TENTANG "AGAMA DAN KONFLIK"
TUGAS MAKALAH SOSIOLOGI AGAMA
“AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL”
DISUSUN OLEH:
NAMA : MEDIANTO TANGKELA’BI
NIRM : 2020164790
KELAS : I TEOLOGI KRISTEN
SEKOLAH TINGGI AGAMA KRISTEN NEGERI (STAKN) TORAJA
TAHUN AJARAN 2017/2018
Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah yang Maha Kuasa oleh karena penyertaan-Nyalah sehingga penulis boleh menyelesaikan makala ini yang berjudul “Agama dan Konfilk Sosial” dengan baik. Dalam makala ini penulis memaparkan tentang defenisi agama dan konflik serta penulis juga menuliskan fungsi agama bagi manusia serta beberapa faktor-faktor yang sering memicu terjadinya konflik serta meringkaskan sedikit tentang solusi dalam menyelesaikan konflik. Dalam makala ini penulis mengambil materi dari beberapa sumber buku untuk membuat makala ini dan juga terdapat sebuah blog website.
Di dalam makala ini penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan-kekurangan, baik dari segi penulisan, tata bahasa maupun kelengkapan materi tentang Agama dan Konflik Sosial, maka dari itu penulis meminta kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian, agar suatu saat makala ini boleh disusun dengan lebih baik lagi.
Mengkendek, 26 Oktober 2017
Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar ................................................................................ i
Daftar Isi .......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................. 4
C. Tujuan Penuulisan .................................................................. 4
BAB II ISI
A. Pengertian Agama ................................................................. 5
B. Fungsi Agama Bagi Manusia ................................................. 6
C. Faktor Penyebab Konflik ...................................................... 9
D. Solusi ..................................................................................... 12
BAB III PENUTUP
A. Kesimmpulan ......................................................................... 14
B
Daftar Pustaka ................................................................................. iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama didefinisikan dalam pengertian perannya dalam masyarakat, yaitu dalam agama menyumbangkan kepada masyarakat apa yang disebutnya the matrix of meaning. Dengan demikian agama merupakan suatu sistem interpretasi terhadap dunia yang mengartikulasikan pemahaman diri dan tempat serta tugas masyarakat itu dalam alam semesta. Agama menentukan perspektif di mana orang-orang memandang dan mengerti diri mereka sendiri serta relasi-relasi mereka dengan masyarakat dan alam. Apa yang dikatakan terakhir ini ingin menegaskan bahwa agama adalah suatu dimensi permanen dari realitas. Agama dapat saja berubah, seperti juga halnya masyarakat, tetapi agama tidak akan pernah bisa hilang. Pengaruh Durkheim cukup luas dirasakan di Amerika Serikat. Talcott Parsons misalnya menginterpretasikan agama sebagai aras tertinggi kebudayaan. Para antropolog, paling tidak mereka yang melakukan studi dini terhadap agama-agama, memahami agama sebagai pertemuan (intercourse) suatu suku bangsa dengan ilah-ilah, roh-roh dan dunia supranatural.
Durkheim dan Marx memandang agama sebagai proyeksi diri masyarakat ke dalam kesadaran manusia. Tetapi berbeda dengan Durkheim yang berupaya memperlihatkan bahwa agama mewujudkan nilai-nilai terbaik dan tertinggi di dalam masyarakat dan dengan demikian melayani kesejahteraan seluruh masyarakat, Marx percaya bahwa agama adalah suatu gejala pengasingan (symptom of alienation) suatu legitimasi simbolik dari kelas berkuasa, dan suatu penghiburan yang ditawarkan kepada orang-orang miskin mengenai “dunia lain”. Khususnya dalam pandangannya bahwa agama adalah alat untuk menghibur orang-orang miskin yang dipakai oleh kelasa yang berukasa, terlihat jelas betapa agama diturunkan derajatnya menjadi ideologi.[1]
Konflik adalah serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Konflik adalah suatu kondisi ketidakcocokan obyektif antara nilai-nilai atau tujuan-tujuan, seperti perilaku yang secara sengaja mengganggu upaya pencapaian tujuan, sehingga mereka dalam posisi oposisi bukan kerjasama
Konflik sosial bisa dikatakan telah setua peradaban manusia itu sendiri. Setiap benturan antar kepentingan terjadi, disitulah muncul peluang konflik sosial. Banyak pakar ilmu sosial telah mengulas masalah konflik sosial ini berdasarkan sudut pandang yang beragam. Agus Maladi Irianto dan Mudjahirin Thohir dalam penelitiannya yang dibukukan dengan judul “Membangun Rasa damai di Atas Bara” mengklasifikasikan konflik sosial di Indonesia menjadi dua tipe, yaitu konflik vertical dan horizontal. Kedua tipe ini bisa berjalan sendiri-sendiri , namun terkadang juga bisa saling terkait. Konflik vertikal dan horizontal dapat terjadi atas dua alasan. Pertama, ketidakmampuan negara mengelola berbagai kepentingan masyarakat Indonesia yang majemuk. Kedua, keterlibatan negara (pemerintah) bersikap berat sebelah dalam rangka memaknai konstalasi kepentingan mereka ketika berlawanan dengan kepentingan publik. Sebagai contoh yang diangkat dalam penelitian ini adalah di daerah Pekalongan dan Semarang. Meskipun sama-sama daerah pesisir, namun menunjukkan tipe konflik yang berbeda. Di Pekalongan terjadi konflik terbuka karena kebudayaan dominan (kebudayaan pesisir) tersosialisasi dalam kehidupan kewirausahaan dan militansi keislaman yang egalitarian. Ketika pranata yang berdasarkan pada watak kewirausahaan dan keislaman diusik, maka dengan mudah mengemulsi dan mengukuhkan emosionalitas massa untuk melawan. Perlawanan ini dikeamas dalam idiom “jihad”, yang merupakan aba-aba untuk melawan penguasa yang lalim (yang dalam kasus ini dialamatkan kepada partai tertentu yang menjadi penguasa).
Terlepas dari klaim luhur yang inheren dari ilmu sosial bahwa ia diharapkan sumbangan kepada penyelesaian konflik-konflik, fakta-fakta sosialnya adalah bahwa bidang ini sendiri tercabik-cabik oleh konflik-konflik intelektual. Pemerhati yang serius mempelajari ilmu sosial dengan kepedulian kemanusiaan segera menyadari bahwa setiap keyakinan pada kebenaran ilmiah sosial yang bisa memberikan konstribusi pada penyelesaian konflik-konflik akan tenggelam dalam sekian banyak teori dan interpretasi yang saling bertentangan. Dengan demikian permasalahan yang paling jelas dan nyata nantinya adalah: dapatkah ilmu sosial memenuhi klaim inherennya untuk memberikan sumbangan kepada penyelesaian konflik-konflik ketika bidang ilmu sosial itu sendiri terpecah-pecah oleh konflik? Sosiolog sains Jerman Peter Weingart, misalnya mendeteksi proses deferensiasi antara ilmu-ilmu sosial dan penentuan kebijakan umum. Sering kali tidak jelas apakah kita sedang berurusan dengan konflik dalam masalah kebijakan umum yang memiliki dimensi ilmiah sosial ataukah konflik ilmiah sosial yang memiliki dimensi kebijaksanaan (Weingart, 1983:235). Ada tiga pandangan yang merelatifkan. Pertama, konflik bukanlah isu yang dianggap sepele dalam ilmu-ilmu sosial, melainkan dianggap sebagai salah satu bidang studi utama; kedua, peran yang dimainkan oleh konflik tidak selalu negativ, melainkan sering memenuhi fungsi-fungsi positif dalam masyarakat dan dunia sains; ketiga, ilmu sosial mau tidak mau merupakan upaya yang sarat dengan konflik, yang berarti bahwa keluhan-keluhan mengenai terjadinya konflik adalah tidak bermanfaat. Kita benar-benar menyadari fakta bahwa konflik merupakan salah satu sumber refleksi dan ketajaman budi dalam ilmu-ilmu sosial.
Studi mengenai konfilk- konflik dalam masyarakat merupakan salah satu stimulus utama dalam penajaman dan pengembangan pengetahuan mengenai struktur-struktur dan tindakan-tindakan sosial (Coser dan Larsen, 1976). Semua ilmuwan sosial mendapatkan diri mereka sendiri terjebak dalam suatu konstelasi di mana yang dipertaruhkan bukan hanya argumen-argumen kognitif, melainkan juga kepentingan-kepentingan normatif, sosial, dan kultural. Dengan demikian yang diketengahkan dalam buku ini adalah masalah apakah ilmu sosial dapat memuaskan klaim inherennya untuk membantu penyelesaian suatu konflik, smentara para ilmuwan sosial sadar bahwa mereka terlibat dalam konflik yang sama.[2]
B. Rumusan Masalah
Adpun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Apa itu agama?
2. Apa fungsi agama bagi manusia?
3. Apa penyebab terjadinya konflik?
4. Bagaimana solusinya?
C. Tujuan Penulisan
Adapn tujuan penulisan dalam makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui definisi dari agama
2. Untuk mengetahui fungsi agama bagi manusia
3. Untuk mengetahui penyebab terjadinya konflik
4. Untuk mengetahui solusi pemecahan agama dan konflik
BAB II
ISI
A. Pengertian Agama
Agama adalah suatu jenis sitem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan nonempiris yang dipercayainya dan dibayangkannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya. Untuk konkretnya dapat disebut lagi dengan singkat sebagai berikut:
1. Agama disebut jenis sistem sosial. Ini hendak menjelaskan bahwa agama adalah suatu fenomena sosial, suatu peristiwa kemasyarakatan, suatu sistem sosial dapat dianalisis, karena terdiri atas suatu kompleks kaidah dan peraturan yang dibuat saling berkaitan dan diarahkan kepada tujuan tertentu.
2. Agama berporos pada kekuatan-kekuatan non-empiris. Ungkapan ini mau mengatakan bahwa agama itu khas berurusan dengan kekuatan-kekuatan dari dunia luar yang dihuni oleh kekuatan-kekuatan yang lebbih tinggi daripada kekuatan manusia dan yang dipercayai sebagai arwah, roh-roh, dan Roh Tertinggi.
Thomas F. O. Dea memakai definisi yang banyak dipakai dalam teroi fungsional. Agama ialah pendayagunaan sarana-sarana supra-empiris untuk maksud-maksud non-empiris atau supra-empiris. Dalam definisi tersebut sangatlah terasa bahwa pendayagunaan sarana-sarana supra-empiris semata-mata ditujukan untuk kepentingan supra-empiris saja. Seakan-akan orang yang beragama hanya mementingkan kebahagiaan akhirat dan lupa akan kebutuhan mereka di dunia sekarang ini.
Pengertian agama (religi) lebih dipandang sebagai wadah lahiriah atau sebagai instansi yang mengatur penyataan iman itu di forum terbuka (masyarakat) dan yang manifestasinya dapat dilihat (disaksikan) dalam bentuk kaidah-kaidah.bahkan orang dapat menyaksikan sejumlah ungkapan lain yang sangat menarik seperti: lambang-lambang keagamaan, pola-pola kelakuan teertentu, cara bermisi (berdakwah) rumah-rumah ibadat, potongan pakaian dan seterusnya. Tanpa adanya agama sebagai suatu wadah yang mengatur membina maka keseluruhan kebudayaan (religius) tersebut akan sukar dibina dan diwariskan kepada angkatan (umat beriman ) berikutnya.[3]
B. Fungsi Agama Bagi Manusia
1. Fungsi Edukatif
Manusia mempercayakan fungsi edukatif kepada agama yang mencakup tugas mengajar dan tugas bimbingan. Lain dari instansi, agama dianggap sanggup memberikan pengajaran yang otoritatif, bahkan dalam hal-hal yang “sakral” tidak dapat salah. Agama menyampaikan ajarannya dengan perantaraan petugas-petugasnya baik dalam upacara (perayaaan) keagamaan, khotbah renungan (meditasi) dan pendalaman rohani. Kebenaran ajaran dari Kyai, Pendeta, Imam atau Nabi didasarkan atas kepercayaan penganut-penganutnya, bahwa mereka dapat berhubungan langsung dengan “yang gaib” dan “yang sakral” dan mendapat ilham khusus darinya. Tugas Bimbingan yang diberikan petugas-petugas agama juga dibenarkan dan diterimka berdasarkan pertimbangan yang sama.
2. Fungsi Penyelamatan
Tanpa atau dengan penelitian ilmiah, cukup berdasarkan pengalaman sehari-hari, dapat dipastikan bahwa manusia menginginkan keselamatannya baik dalam hidup sekarang maupun sesudah mati. Jaminan untuk itu mereka menemukan dalam agama. Terutama karena agama mengajarkan dan memberikan jaminan dengan cara-cara yang khas untuk mencapai kebahagiaan yang terakhir yang pencapaiannya mengatasi kemampuan manusia secara mutlak, karena kebahagiaan itu berada diluar batas kekuatan manusia.
Manakah titik-titik persamaan yang universal dari tigas agama itu? Dalam masalah yang tengah diperbincangkan agama dipercayai mempunyai fungsi eksklusif, seperti berikut ini:
a. Agama membantu manusia untuk mengenal “yang sakral” dan “Mahkluk Tertinggi” atau Tuhan dan berkomunikasi dengan-Nya.
b. Agama sanggup mendamaikan kembali manusia yang “salah” dengan Tuhan dengan jalan pengampunan dan penyucian.
Apabila dua persyaratan diatas terpenuhi maka manusia merasa bahagia yang intinya tidak lain ialah menemukan kembali dirinya sendiri terintegrasi dengan tertib dan dunia sakral yang telah dirusakkan dengan langkah yang salah.[4]
Agama dan kekerasan adalah dua hal yang sebenarnya bertolak belakang-begitu bertentangan seperti terang dan gelap. Kesadaran dan pemahaman ini harus menjadi tulang punggung dan garis merah dalam setiap pembicaraan yang berkisar pada masalah bagaimanakah hubungan antara agama dan kekerasan dapat diuraikan. Memang tidak dapat disangkal bahwa bilamana agama muncul, kekerasan akan segera menyusul. Hal ini jelas terlihat dalam kisah kejadian manusia yang dikisahkan Alkitab. Dari sana kita bisa belajar bahwa manusia sejak permulaan sampai sekarang diiringi kekerasan yang besumber pada manusia sendiri. Segera sesudah hubungan antara manusia dan Allah terputus, terputus pulalah hubungan diantara manusia. Dari kisah Kain dan Hbel , bisa ditafsirkan bahwa agama memang sangat cepat bisa menjadi sumber kekerasan, di mana satu pihak bisa cemburu terhadap pihak lain dan hendak membinasakan pihak yang dianggap saingan. Namun, tentu saja agama yang sebenarnya tidak bisa dinilai begitu saja. Bukan saja bahwa manusia yang memeluk agama yang disukai Allah bisa juga kalah dihadapan kebenaran, bahkan Allah sendiri menyatakan bahwa bagi-Nya manusia dan agama tidak sama. Di mata-Nya, manusia jauh lebih penting daripada agama.[5]
Secara garis besar pandangan Habermas mengenai agama berkembang dalam tiga fase. Pada tahap awal, Habermas memandang agama sebagai bagian dari elemen Lebenswelt yang harus dilewati atau dilampaui. Agama sebagai elemen Lebenswelt: secara sosiologi, agama merupakan suatu kenyataan sosial yang selalu menarik untuk diperbincangkan. Teori-teori masa itu (1970-an) meyakini bahwa proses sekularisasi akan berjalan terus sehingga suatu saat agama akan lenyap dari kehidupan masyarakat. Habermas berasumsi bahwa dengan perkembangan masyarakat demokratis modern, fungsi agama dalam menyuburkan integrasi sosial akan digantikan dengan rasio komunikatif sekuler. Di tahap kedua, Habermas mulai memandang agama sebagai bagian dari good life yang perlu perhitungkan oleh liberalism politik. Agama sebagai Good Life pendirian Habermas pada fase sebelumnya bahwa pencerahan akan mengakibatkan hilangnya peran agama dalam masyarakat modern telah berubah. Agama sebagai bagian dari good life harus diatasi dengan mengutamakan problema keadilan dalam hidup bersama agar kemajemukan tidak dicederai. Habermas menanggapi fakta pluralisme (agama) dengan mengadopsi suatu teori demokrasi prosedural yang bersikap agnostik terhadap berbagai pandangan-pandangan dunia yang berkompetisi. Habermas mengatakan bahwa komitmen kita sudah selalu berasal dari dalam common sense yang kita hadapi. Dan akhirnya, di usia senja Habermas memandang agama sebagai sistem pandangan dunia total berhadapan dengan sekularitas. Tahap ketiga: Agama sebagai Weltanschauung, perubahan signifikan pandangan Habermas atas keberadaan dan peran agama terangkum dalam karyanya, “The Future of Human Nature” (2001) dan “ Between Naturalism and Religion” (2008) yang merupakan kumpulan beberapa ceramah.
Di sini Habermas mengusung ide “kepublikan” . Dengan gagasan ini Habermas menekankan bahwa agama tidak bisa dibatasi dalam ruang privat. Sebaliknya, agama harus menintervensi ruang publik dengan memanfaatkan dokumen-dokumen dan tradisi-tradisinya untuk menghadirkan intuisi-intuisi moralnya. Habermas berpendapat bahwa dalam konteks ini, agama terbukti menjadi sumber moral penting kerena warga beriman memiliki akses pada sesuatu yang potensial untuk menjustifikasi pertanyaan-pertanyaan moral. Berkat makna yang dimiliki agama, ia berfungsi menyediakan basis moral bagi diskursus publik dan dengan demikian sesungguhnya agama dapat memainkan peran penting dalam ruang publik.[6]
Konflik yaitu percekcokan; perselisihan-perselisihan; pertentangan. Jika kata ini digabung dengan istilah sosial menjadi suatu pertentangan antar anggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan. Menurut teori konflik, masyarakat adalah suatu keadaan konflik yang berkesinambungan diantara kelompok dan kelas serta berkecenderungan kearah perselisihan, ketegangan, dan perubahan. Jadi masyarakat (sosial) merupakan lahan yang subur bagi tumbuhnya konflik. Bibitnya bisa bermacam-macam faktor: ekonomi, politik, sosial, bahkan agama. Jadi, yang menjadi sumber utama terjadi konflik adalah masyarakat atau pemeluk agama, bukan pada agama atau ajarannya. Penganut agama adalah orang yang meyakini dan mempercayai suatu ajaran agama. Keyakinannya akan melahirkan bentuk perbuatan baik dan buruk. Keyakinan ini bisa dimiliki oleh mereka, setelah melalui proses memahami dan mempelajari ajaran agama tersebut. Oleh karena itu, setiap pemeluk agama akan mempunyai kadar interpretasi yang beragam dalam memahami ajaran agamanya sesuai dengan kemampuannya masing- masing. Akibat perbedaan pemahaman ini, konflik sudah tidak bisa dihindari.
C. Faktor Penyebab Konflik
Adapun penyebab terjadinya konflik sosial yaitu sebagai berikut:
1. Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental
Dalam penyorotan sekarang ini kita hanya ingin mengkhysuskan pada satu sumber bentrokan saj yaitu perbedaan iman, dan berkaitan dengan iman juga perbedaan mental setiap umat beragama. Bahwa perbedaan iman (doktrin) menimbulkan bentrokan tidak perlu kita persoalkan, tetapi kitamenerimanya sebagai fakta dan mencoba untuk memahami ddan mengambil hikmahnya. Semua umat yang sedang terlibat dalam bentrokan masing-masing menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang menjadi penyebab dari benturan itu.[7]
2. Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama
Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan ras dan agama memperlebar jurang permusuhan antara bangsa. Contoh di wilayah Indonesia, antara Suku Aceh dan Suku Batak di Sumatera Barat. Suku Aceh beragama Islam dan Suku Batak beragama Kristen; kedua suku itu hampir selalu hidup dalam ketegangan, bahkan dalam konflik fisik (sering terjadi), yang merugikan ketentraman dan keamanan.
3. Perbedaan Tingkat Kebudaayaan
Perbedaan budaya dalam kelompok masyarakat yang beragama di suatu tempat atau daerah ternyata dapat mendorong terjadinya konflik antara kelompok agama di Indonesia.
4. Masalah Mayoritas dan Minoritas Golongan Agama
Di berbagai tempat terjainya konflik, massa yang mengamuk adalah beragama Islam sebagai kelompok mayoritas; sedangkan kelompok yang ditekan dan mengalami kerugian fisik dan mental adalah orang Kristen yang minorotas di Indonesia. Sehingga nampak kelompok Islam merasa berkuasa atas daerah yang didiami lebih dari kelompok minoritas yakni orang Kristen. Karena itu, di beberapa tempat orang Kristen sebagai kelompok minorotas sering kali mengalami kerugian fisik, seperti: pengrusakan dan pembakaran gedung-gedung ibadat.
5. Adanya Klaim Kebenaran
Dalam ajaran atau doktrin agama, terdapat seruan untuk menuju keselamatan yang dibarengi dengan kewajiban mengajak orang lain menuju keselamatan tersebut. Kegiatan ini biasa disebut “Dakiya”. Dakiyah merupakan upaya mensosialisasikan (mengajak, mereyu) ajaran agama. Bahkan tidak menutup kemungkinan, masing-masing agama akan menjustifikasikan bahwa agamanyalah yang paling benar. Ini akan memunculkan sentimen agama, sehingga benturan pun sulit dihindari. Fenomena seperti inilah yang sering kali menimbulakan konflik antara agama.
6. Adanya Pengkaburan Persepsi Antar Wilayah Agama dan Suku
Mayoritas rakyat Indonesia lebih mensejajarkan persoalan agama dengan suku dan ras. Pemahaman yang kabur ini bisa menimbulkan kerawanan atau kepekaan yang sangat tinggi, sehingga muncul benih-benih sektarianisme. Seperi dalam kasus Dr. AM Saefuddin yakni menteri Negara Pangan dan Holtikultura pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie. Menteri itu telah melecehkan salah satu agama, dalam pernyataannya “Megawati pindah Agama menjadi Agama Hindu”. Hal ini dikarenakan dia telah menyaksikan seorang yang beragama Islam ikut melakukan ritual pada agama Hindu di Bali. Akibatnya setelah pernyataan itu dilontarkan terjadi sejumlah demonstrasi bahkan berubah menjadi kerusuhan.
Adanya sikap tertutup dan saling curiga antar agama juga bisa berpotensi dapat menimbukan konflik. Kegiatan yang dijalankan oleh suatu agama dianggap sebagai ancaman bagi agama lain. Sebagai contoh pendirian rumah ibadat dianggap suatu ekspansi yang akan merugikan agama lain. Pendirian rumah ibadat yang dulunya ditujukan sebagai sumber kebaikan dan kemaslahatan, malah menjadi sumber sengketa dan pertentangan. Rumah ibadat, Masjid dan Gereja beralih fungsi menjadi lambang kesombongan manusia. Agama yang semula ditujukan sebagai sarana untuk menghayati iman dengan semakin mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi hanya digunakan semata-mata untuk mencapai kuantitass pemeluk dan alat pengemban kekuasaan. Tujuan agama yang telah terselewengkan menyebabkan penyebaran agamapun ikut terselewengkan. Agama yang seharusnya digunakan untuk membangun kualitas iman, dijadikan alat pengumpul dan pembangunan kekuatan. Akibat dari penghayatan yang salah mengenai agama seperti ini, manusia menjadi lebih mudah terprovokasi yang berujung pada sebuah konflik.[8]
D. SOLUSI
Untuk mencegah agar orang tidak terjebak dalam konflik-konflik yang tidak perlu, maka Indonesia mencanakan Tri Kerukunan, yaitu Kerukunan Antar-Umat Beragama, Kerukunan Intern-Umat Beragama dan Kerukunan Antara Umat Beragama dengan Pemerintah. Tentu saja rumusan ini bukanlah rumusan teologi, tetapi suatu rumusan politik yang secara praktis diharapkan dapat mengatur orang-orang yang berbeda agama itu agar tidak terlibat konflik satu sama lain, ataupun agar di dalam diri mereka sendiri tidak ada upaya saling menjegal. Yang menimbulkan kesan telah terjadi konflik antara umat beragama adalah maraknya kerusuhan secara beruntun di beberapa tempat seperti di Ambon. Walaupun kerusuhan itu tidak mudah untuk dianggap sebagai suatu konflik agama, tetaapi tidak dapat disangkal bahwa ada nuansa-nuansa keagamaan di dalamnya. Dapat saja dibenarkan bahwa penyebab berbagai kerusuhan itu adalah kesenjagan sosial.
Untuk dapat menghindari konflik yang terjadi jalan yang harus di tempuh yaitu kita harus memajukan kehidupan yang rukun. Bagi kita bangsa Indonesia kerukunan sebenarnya bukanlah hal yang terlalu baru. Pada masa sekarang pun kerukunan itu dirumusakan dalam UUD 1945 sebagai jaminan negara bagi setiap warga negara untuk memeluk agama dan mengungkapkan kepercayaannya itu (UUD 1945, Pasal 29. TAP MPR II/1978: Dokumen P4, penjelasan mengenai sila Ketuhanan Yang Maha Esa). Makna Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu, pada hakekatnya mengungkapkan perasaan yang terdalam dari kesadaran bangsa Indonesia mengenai perlunya kerukunan itu.[9]
Oleh karena sumber munculnya konflik adalah dari orang yang menganut atau memeluk agama, maka dari itu perlu kesadaran bagi setiap pemeluk agama (masyarakat) untuk saling menghargai dalam hal memeluk agama. Apalagi telah dicantumkan dalam UUD 1945 tentang kebebasan memeluk agama. Jadi jangan kita mengangap bahwa agama kitalah yang paling sesuai dengan ajaran Tuhan dan merendahkan ajaran agama lain. Dan untuk menghindari konflik antara masyarakat kita juga harus menghargai suku, ras dan budaya masyarakat lain, meskipun kita berbeda keyakinan serta yang paling penting adalah jangan kita menganggap rendah orang-orang minoritas dalam masyarakat entah minoritas dalam hal suku, ras, budaya dan agama yang dianutnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Agama berasal dari bahasa sansekerta yaitu “A” artinya “tidak” dan “Gama” artinya “kacau”. Jadi secara harafiah dapat dikatakan bahwa agama berarti tidak kacau. Sedangkan konflik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti perceekcokan, pertikaian dan perselisihan, jadi jika digabungkan dengan istilah sosial, maka konflik sosial adalah pertikaian atau perselisihan yang terjadi dalam masyarakat.
Untuk dapat mencegah terjadinya konflik sosial maka kita harus saling menghargai satu dengan yang lain, menghargai budaya orang lain, rasnya, sukunya dan terlebih menghargai agama yang dianutnya. Dan kita tidak boleh menindas atau mengucilkan orang-orang minoritas dalam kelompok atau masyarakat di mana kita berada serta kita harus mewujudkan rasa sepenanggungan dan senasib dalam bermasyarakat. Dengan menerapkan semuanya itu maka dapat dipastikan bahwa konflik atau perselisihan khususnya di Indonesia sendiri dapat dicegah bahkan tidak akan ada konflik lagi.
Daftar Pustaka
Hendropuspito, D. 1983. Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius
http://firmanmanccunian.blogspot.co.id/2015/05/agama-dan-konflik-sosial_12html/m=1
Menoh, Gusti A.B. 2015. Agama Dalam Ruang Publik, Daerah Istimewah Yogyakarta: Kanisius
Schumann, Olaf Herbert. 2011. Agama-Agama: Kekerasan dan Perdamaian, Jakarta: BPK Gunung Mulia
Van Harskamp, Anton. 2005. Konflik-Konflik Dalam Ilmu Sosial, Yogyakarta: Kanisius
Yewangoe, A.A. 2006. Agama dan Kerukunan, Jakarta: Gunung Mulia
[1] Dr. A.A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan, (Jakarta: Gunung Mulia 2006), hlm. 3-7
[2] Anton van Harskamp, Konflik-Konflik Dalam Ilmu Sosial, (Yogyakarta: Kanisius 2005), hlm. 3-6
[3] D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius 1983), hlm. 34-36
[4] Ibid, hlm. 38-40
[5] Olaf Herbert Schumann, Agama-Agama: Kekerasan dan Perdamaian, (Jakarta: BPK Gunung Mulia 2011), hlm. 487-490
[6] Gusti A. B. Menoh, Agama Dalam Ruang Publik, (Daerah Istimewah Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm. 95-103
[7] D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius 1983), hlm. 151-152
[8] http://firmanmanccunian.blogspot.co.id/2015/05/agama-dan-konflik-sosial_12html/m=1
[9] A.A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan, hlm. 28-30
Komentar
Posting Komentar